Hanya Seorang Pelacur

Posted by

Marletta – seorang pelacur berusia dua puluh empat tahun – baru saja selesai menjalankan pekerjaannya. Pekerjaan yang telah ia lakoni selama tiga tahun terakhir; demi menghidupi dirinya di kota besar ini.

***********************

Sekarang pukul empat dini hari, dimana suasana begitu hening dan Marletta hanya ditemani oleh suara-suara jangkrik. Ia sedang berjalan kaki ke tempatnya tinggal. Padahal beberapa menit sebelumnya, ia tengah menumpangi sebuah sedan Audi mewah, yang dikendarai oleh Techno – pria yang sudah langganan menyewa Marletta untuk dibawa ke atas ranjang. Tapi Marletta selalu meminta Techno untuk menurunkannya di pinggir jalan.

Marletta malu! ia tidak mau Techno tahu di mana tempatnya tinggal. Karena hanya rumah susun kumuh di gang sempit yang menjadi tempatnya berteduh. Marletta tidak ingin Techno merasa jijik setelah menggunakan tubuhnya, hanya karena melihat kekumuhan rumah susun itu. Maka itulah, Marletta berusaha untuk berpenampilan baik – bahkan sebaik mungkin – untuk menutupi tentang dari lingkungan mana dirinya berasal.

Marletta hampir sampai di gang sempit tersebut – namun sebelum sempat melangkahkan kaki ke dalam gang, sepotong suara mencegahnya.
“Dibawa ke dalam kamar yang nyaman, pulang-pulang membawa banyak uang yang menyamankan hati”.
Marletta menelan ludah, “Lonyo?”, ternyata si pengemis tua yang dini hari begini masih terjaga.
“Hari yang baikkah, Marletta?”, tanya Lonyo.
“Kukira kau sudah mampu menerkanya”.
“Ya, kukira begitu. Aku bisa membaca air mukamu. Apakah dapat uang lebih?”
Marletta melempar senyum, “Lonyo, kau tak perlu basa-basi. Apa kau belum makan hari ini?”.
“Hanya memakan sisa makanan anjing yang kutemukan di ujung jalan sana.”
“Itu tidak dapat disebut sebagai makanan. Kenapa tidak mengetuk kamarku? kau tahu kalau aku pasti akan memberimu makanan”.
“Aku….aku merasa malu”, balas Lonyo, “Aku malu karena hampir setiap hari meminta belas kasihan darimu”.
“Kenapa harus malu? sadarkah kau bahwa manusia diciptakan dengan peran berbeda? aku mungkin adalah salah satu yang mendapat peran sebagai manusia yang dititipkan uang oleh Tuhan, sedangkan kau mendapat peran sebaliknya. Jadi merupakan kewajibanku untuk membantumu.”
“Apakah begitu adanya, Marletta?”
“Semestinya begitu”, kemudian Marletta mengeluarkan beberapa lembaran uang dari dompetnya, “Ini untukmu, Lonyo. Kurasa cukup untuk makan selama satu minggu”.
Tanpa mempedulikan ekspresi Lonyo yang terkejut, Marletta langsung pergi meninggalkan pengemis tua itu.

**********************

Pukul lima pagi; Marletta masih sibuk membereskan kamarnya yang cukup berantakan. Marletta memang terbiasa untuk tidak langsung tidur usai pulang bekerja. Ia memilih untuk tidur setelah sarapan pagi. Lama-kelamaan, Marletta hidup bagaikan kelelawar. Terjaga di malam hari, tidur di siang hari.

“Marletta!Marletta!”, tiba-tiba suara teriakan hadir tepat di depan pintu kamar Marletta.
Marletta sempat berpikir sejenak mengenai siapa yang kira-kira mendatanginya pagi hari buta begini, hingga akhirnya ia bergerak membukakan pintu.
“Marletta..”, ternyata nyonya Grace – tetangganya – datang dengan wajah yang panik.
“Ibu Grace?”, Marletta bertanya-tanya, “Ada masalah?”
“Tolong Marletta, anakku tiba-tiba badannya kejang lagi. Kurasa penyakitnya kumat! aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa. Tolonglah anakku, Marletta.”
“Sudah, Ibu Grace jangan panik. Kita bawa anak ibu ke rumah sakit sekarang juga.”

*****************************

Malam itu, Techno – untuk kesekian kalinya – menurunkan Marletta di pinggir jalan pada dini hari yang sunyi. Bukan karena ingin tahu kehidupan pribadi Marletta, tapi rasa tanggung jawabnya sebagai seorang laki-laki membuat dirinya merasa bersalah jika terus-terusan menurunkan Marletta di pinggir jalan. Memang sesungguhnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan Techno, toh Marletta yang berprofesi sebagai pelacur sudah terlanjur jadi wanita rusak. Jadi, kalau ada apa-apa dengan Marletta, seharusnya tidak perlu dipikirkan lagi. Takut diperkosa? buat apa takut? Marletta khan sudah sering merelakan diri untuk diperkosa.

Namun semua asumsi tersebut tidak memengaruhi Techno. Entah mengapa, malam itu Techno merasa ingin bertanggung jawab pada Marletta. Maka dari itu, secara sembunyi-sembunyi Techno membuntuti Marletta sampai ke tempat tinggalnya.

Ternyata dari lokasi jalan tempat Marletta biasa diturunkan, hanya berjarak dua blok untuk sampai ke tempat tinggalnya. Tetapi Techno tidak dapat mengamati Marletta dari dekat, karena Marletta ternyata tinggal di sebuah rumah susun yang masuk ke dalam gang sempit. Yang dapat Techno lihat pada malam itu hanya ketika Marletta sedang bercakap-cakap dengan … mmm… seorang pengemiskah? karena pria tua itu duduk terhampar di ujung gang dengan baju compang-camping. Ya, Techno pikir memang pria tua itu adalah seorang pengemis. Tapi, untuk apa Marletta berbicara cukup panjang dengan seorang pengemis? Techno semakin bingung ketika melihat Marletta memberi beberapa lembar uang pada pengemis tua itu.

**********************

Di pagi hari berikutnya, Techno sedang membaca surat kabar di teras rumahnya yang mewah, sembari menunggu kedatangan Ibu Grace. Dan ketika Ibu Grace tiba, Techno sudah memasang wajah penuh amarah.
“Maafkan saya tuan”, Ibu Grace memberanikan diri untuk memulai.
“Tak ada gunanya kau meminta maaf. Kau tahu, kau itu adalah pembantu! cuma babu! kacung! seenaknya saja hari kemarin tidak datang tanpa pemberitahuan. Saya itu membayar kamu pakai uang, jadi sehari saja kamu absen, saya rugi besar! enak saja kamu makan gaji buta, sementara kamu membiarkan istana saya jadi kotor karena sehari tidak dibersihkan.”
“Tapi saya punya alasan, tuan….”
“Benarkah? lalu apa alasanmu?”
“Penyakit anak saya kumat dan sejak kemarin pagi ia dirawat di rumah sakit. Jadi, seharian kemarin saya menemaninya di sana”.
“Oh,begitu.”
“Ya,tuan.”
“Tunggu,kau bilang anakmu dirawat di rumah sakit?”
“Betul,tuan.”
“Darimana orang miskin seperti kau bisa membayar biaya rumah sakit? Ingat ya, saya tidak mau meminjamkan uang lagi. Jangan harapkan satu sen pun dari saya!”
“Tuan tidak perlu membantu saya, karena sudah ada orang yang dengan ikhlas membantu membayar biaya rumah sakit”
“Begitukah?”
“Ya, seorang perempuan berhati emas yang membantu saya. Perempuan itu memang seorang pelacur, namun ia tampak seperti malaikat.”
“Oh ya? apakah ada pelacur yang masih jadi orang baik?”, Techno meremehkan.
“Saya sebetulnya juga tidak begitu yakin, tuan. Tapi perempuan ini sungguh-sungguh seperti itu. Marletta benar-benar pelacur yang berbeda.”
Techno terhenyak, “Siapa kau bilang? Marletta?”
“Ya, Marletta. Pelacur itu bernama Marletta.”

******************************

Waktu baru saja menunjukkan tepat pukul delapan malam. Itu berarti Marletta tidak terlambat untuk memenuhi janji pertemuannya dengan Techno. Sebuah dermaga adalah saksi pertemuan mereka malam ini.
“Bukan hotel bintang lima, tapi sebuah dermaga. Ada apa dengan Techno malam ini?”
“Marletta”, Techno jadi terkejut, “Kau sudah datang”.
“Kamu belum jawab pertanyaanku”.
“Ah? kenapa dermaga? hmm…apakah tidak boleh mencari alternatif tempat lain?”
“Bukan tidak boleh, hanya merasa aneh. Atau jangan-jangan, kamu akan mengajakku bercinta di dalam sebuah kapal ya? lalu kita akan berlayar mengarungi lautan luas, hingga akhirnya kita terdampar di sebuah pulau tanpa nama, yang akhirnya cuma ada kita berdua. Betul khan dugaanku?”
“Kurasa kamu terlalu banyak menonton film, khayalanmu terlalu jauh, Marletta.”
“Lalu, jika bukan seperti itu, kita akan bercinta di mana?”
“Dasar pelacur. Apa isi pikiranmu hanya tentang bercinta?”
“Isi pikiranku hanya tentang bercinta jika bertemu denganmu, karena kamu adalah pelangganku”.
“Sudahlah, buang jauh pikiran tentang bercinta denganku.”
“Apa kau bilang?”
“Aku serius, Marletta. Aku mengundangmu malam ini dan aku akan membayarmu, tapi bukan untuk melayaniku.”
“Kenapa kau aneh sekali, Techno? tapi, baiklah jika itu maumu. Lalu apa yang harus kulakukan?”
“Kamu hanya perlu menjawab satu pertanyaan dariku.”
“Mudah”.
“Marletta, sebenarnya uang dari hasil melacur kau gunakan untuk apa?”
“Ah? Techno, apa hal itu adalah urusanmu?”
“Aku tahu itu bukan urusanku, tapi aku hanya sedang bertanya-tanya.”
“Bertanya-tanya?”
“Bertanya-tanya karena kamu dengan ringan memberi beberapa lembar uang pada seorang pengemis tua, dan kamu juga membayar biaya rumah sakit anak Ibu Grace.”
Marletta kaget, “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Aku membuntutimu malam itu, dan tentang biaya rumah sakit, Ibu Grace sendiri yang menceritakannya.”
“Kamu kenal dengan Ibu Grace?”
“Tentu, dia adalah pembantu yang bekerja di rumahku.”
“Kenapa kamu ingin tahu soal ini, Techno?”
“Karena aku tidak menyangka masih ada seorang pelacur yang berhati baik.”
“Aku adalah aku, dan melacur hanyalah saranaku untuk mencari uang”.
“Kupikir jika kamu memang sebaik itu, kamu tidak pantas jadi pelacur.”
“Pantas atau tidak, hanya Tuhan yang tahu. Aku sadar aku hanya akan diterima di neraka jahanam, tapi aku berharap mudah-mudahan masih ada perbuatan baik yang akan menarikku ke surga. Jika pun tidak, setidaknya sebagai manusia aku sudah berusaha.”
“Jujurlah padaku Marletta, siapakah dirimu yang sebenarnya?”
“Diriku yang sebenarnya? aku hanyalah seorang pelacur”.

9 October, 2006
West Java – Indonesia

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s