Realisme

Posted by

Jangan harap bisa menahanku saat ini, saat aku ingin meninggalkan analisaku. Apakah untuk sementara? Entah. Apakah yakin untuk selamanya? Entah juga. Aku tidak mau memberikan jawaban apapun. Analisa akan dilanjutkan ketika semuanya sudah kembali pada ketetapan atmosfirnya. Angka lima mungkin sempat terlalu dini membuat keputusan; yang membuatnya terlalu dini untuk kehilangan segalanya. Apakah penyebabnya? Tak satu faktor pun mau disalahkan. Dalam halaman realisme, angka lima hanyalah seonggok batu kecil yang sedang menghadapi anggunnya bulan purnama; hanyalah batu kecil yang seakan tak akan pernah mencapai bulan. Angka lima bahkan tak pernah berusaha menciptakan langkah yang lebih jauh.

Jika menengok perjuangan angka enam dan sang artefak; banyak langkah telah sempat dilalui. Bahkan, langkah yang menurutku terlalu berharga. Terlalu berharga karena hasilnya sangat mentah. Apakah mereka kecewa? Aku bahkan tak pernah sempat tahu. Dalam halaman realisme, angka enam yang berdampingan dengan artefak selalu berada di jalan berbeda. Realisme membuktikan kehidupan fana yang seharusnya mereka tinggalkan. Dan aku? Semakin lama tersadar bahwa realisme semakin benar. Realisme telah membuatku menyingkirkan diri untuk terus merancang analisa bagi angka enam dan sang artefak.

Untuk beberapa waktu, halaman realisme masih sempat dipenuhi oleh sangkar burung milik sang penghuni. Secara tidak langsung mereka menghujani dunia dengan perang dingin. Dalam eksistensinya masing-masing, mereka menduduki pertimbangan yang tidak sanggup diadu.

(aku menahan napas, dan memilih untuk mencegah peraduan diantara mereka).

Realisme adalah konsekuensiku. Biarkan aku yang menghadapi halaman demi halaman dengan sebuah realisme.

Tak ada lagi getaran kepastian pada suatu analisa baru yang ingin kurangkai demi angka enam – yang nyatanya masih berjalan. Proses filterisasi juga tidak sanggup menghadapi kondisi analisa yang terlalu tajam, apalagi ditambah idealisme model dasar atas nama penghidupan kembali angka enam.  Aku semakin tidak paham! Idealisme macam apa yang membuat dunia ini jadi begitu terkekang. Jangan-jangan ini hanya permainan politik segelintir kelompok agar manusia tidak sampai hati mencampuradukkan idealisme yang berbeda.

Sesungguhnya aku tumbuh dengan kebencian terhadap prinsip idealisme yang fana itu. Mereka tidak sadar bahwa pembentukan idealisme yang tidak berdasar mampu menyebabkan atmosfir ini jatuh pada titik kulminasi. Hah, aku paling benci membicarakan titik kulminasi lagi, apa tidak ada yang lebih menyenangkan dari itu? Tapi aku pun harusnya sadar, sekali waktu titik kulminasi akan sangat dibutuhkan bagi penyelamatan idealisme. Namun, idealisme siapa? Bahkan mungkin ada milyaran idealisme di setiap kepala manusia waras – dan tak akan pernah menemukan gerbang keterbukaan.

Gerbang keterbukaan masih saja tertutup karena sulitnya menyatukan isi otak manusia waras, yang malah justru membuat mereka menjadi manusia setengah gila. Mereka berharap tidak akan pernah terjadi intervensi terhadap apa yang dikemukakan – namun nyatanya, intervensi kerap terjadi dan sangat memusingkan.

Bicara soal angka enam, sempat terjadi perdebatan besar tentang apa itu idealisme. Apakah idealismemu atau idealismeku yang harus dipertahankan? Di manakah titik temu terbaik?

Sialnya, belum sempat ada penyelesaian mengenai idealisme yang menghambat eksistensi angka enam untuk kehidupan surgawinya, aku diserang oleh (lagi-lagi) realisme. Aku sulit memberikan definisi; di satu sisi, sempat ada potensi bahwa realisme harusnya sudah jadi kisah usang, namun di sisi lainnya, ia bahkan menjelma menjadi kisah terbaru. Realisme mungkin tidak sadar apa yang sudah dan sedang ia perbuat.

Setahun lalu, apa yang sudah ia lakukan sesungguhnya hanyalah aksi sia-sia belaka; saat itu, aku cukup melontarkan satu pertanyaan mendasar saja. Anehnya, realisme pun muncul dengan jawaban mendasar pula. Menyebalkan. Apa maksudnya? Tapi, tak pernah terpikirkan kemudian untuk mengirimkan pertanyaan kedua. Eksistensi realisme malah hanya jadi sampah dan benalu yang menumpang pada halaman putih orang lain. Tak ada hasrat, tak pernah ada dorongan.

Realisme akhirnya mendarat sebagai legenda tanpa dukungan sejarah di belakangnya. Dia terbawa oleh arus arahan sang sutradara pembuat cerita. Sang sutradara yang nyatanya terlalu tua untuk diajak kencan itu menggiring realisme pada kehidupanku. Dan apakah aku ingat sesuatu? (sejenak otakku harus didinginkan, agar aku ingat kebenaran). Ah, iya! Realisme punya nama juga. Maka dari itu, tolonglah jangan asal-asalan! Jangan anggap remeh realisme yang ada!

Biarkan aku memberi deskripsi mendalam tentang realisme. Yang pertama, nyatanya ia juga dapat dikategorikan makhluk hidup; ia memiliki nafas yang kerap menyalurkan hasratnya untuk sirkulasi udara kehidupan manusia. Ia sedang mencari korban untuk diberikan bantuan pernapasan – tapi belum ada yang merasa dalam keadaan darurat. Maka realisme menunggu saja korbannya. (namun, jelaskan segera: siapa namanya?) (bagaimana aku menyebutnya? Aku ingin realisme tetap pada posisi kamuflase yang aku rancang) (Hah, jika demikian, maka ada potensi kebohongan tentang realisme).

Apa? Kau menganggapku berbohong? Terserah. Terserah. Terserah! Realisme itu benar-benar ada. Maka kenapa aku menyebutnya demikian. Tapi, ketika kau memaksaku mengakui siapa dia sebenarnya, aku belum mampu mengungkap identitasnya. (aku bahkan tak akan peduli dengan tuduhan sebagai pembohong terhadap eksistensinya). Tahu apa kalian soal realisme? Karena kehidupan fana telah menduduki hati kalian dengan racun, maka aku tak akan pernah berorasi tentang realisme. Kisahku dengan realisme dan analisa; hanyalah milikku seorang.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s