Gembok Gembok itu dapat menjadi benda abstrak sekali waktu, bahkan kunci jenis apapun akan terus-terusan sulit untuk membukanya Menjadi terikat, diam dan misterius itu bukanlah pilihan – itu jalan hidup Menjadi saksi mata dalam kebisuan pun, bisa dibilang takdir Kedengarannya seperti pasrah dan tak mau bersuara, namun akan ada masa dimana kuburan pun bisa meledakkan isi perutnya Aku tidak mengatakan ini adalah gempa bumi Aku pikir ini lebih ke guncangan psikologis, bagi mereka Aku tidak mengatakan ini adalah politik. Aku pikir ini lebih menjadi ambisi individu, merekalah para individu tersebut Dalam satu kondisi, mereka menetapkan kebaikan dalam kebijakan Dalam kondisi lainnya, mereka rupanya memilih untuk menjadi munafik Ketika kerendahan hati tidak sanggup lagi menjadi senjata, aku memilih untuk melangkah Langkah yang tanpa sengaja mengalir pada satu keseriusan Aku tidak menahan emosi Bahkan amarah pun tidak muncul dalam hatiku Jiwaku beku Jiwaku terkunci Ini gembok, ya cuma gembok. Aku yakin mereka pun tidak akan peduli Mari kita membuat redaksional di sisi utara, aku lah yang menjadi paruhan porsi berbeda Sudut pandang wilayah utara menjadikanku emas Ini mungkin kisah lama bagi para nenek moyangku, namun sebagai seorang pemikir, aku mendapatkan jawaban konkrit Topiknya akan kusajikan ketika aku bertemu mereka yang tepat Topiknya kelak akan tersaji seperti sayatan pisau abstrak Ini bukan pembuktian Ini masa pembelajaran, yang tidak ada akhirnya Bagiku, dalam sudut pandangku Bagimu, dalam sudut pandangmu Yang tak akan pernah menyatu 2011 Jakarta - Indonesia
Kalah Begitu Saja Tunggu… tunggu sebentar! (aku butuh perantara pikiran untuk bisa mengolahnya sesegera mungkin) (sebelum jadi kaset rusak…rewind, rewind, rewind!) (aku butuh ratusan wajah untuk dapat menyajikan hasil lukisannya) Dan….akhirnya…aku menyadarinya… (rupanya dia benar adanya, eksistensinya menghimpitku dalam jurang yang begitu dalam) Dulu, ia pernah duduk di kursi yang – bahkan – sudah semakin pudar di ingatanku. Aku bahkan – tanpa beban – merobek dan kemudian membuang hasil tulisan tangannya (hilangnya ia dalam kerumunan – pun – tak mendorongku untuk berlari mencarinya) “Dia…dia itu hanya angin lalu! dia hanya bagian kecil dari pertunjukan itu!” (gila! di mana aku meletakkan otak ini? pertunjukan itu masanya sampai berbulan-bulan….sangat lama…..bahkan lebih lama dari fase hidupmu untuk menunggu gerhana matahari. Aku betul-betul gila!) Tapi, aku – sejujurnya – sempat menyimpan sedikit ceritanya (angka yang sama, angka yang sesungguhnya paling kucari di hidup ini) (tidak! saat itu dia bahkan tidak memikat sama sekali) Biarkan aku menelan semua ini terlebih dahulu (sebentar!), biarkan organ-organ tubuhku mengolah paradigma ini (sebentar!), dan biarkan otakku yang akhirnya menganalisa keadaan ini (sebentar saja!) Maka koridor gelap di siang itu menarikku pada sebuah petunjuk (tidak tahukah kau, bahwa aku bukan berlari mencarimu, aku menggerakkan kakiku untuk tujuan lain) (aku tak pernah merancangmu untuk hidupku, kau benar-benar seperti terambil dalam sekotak coklat yang biasa kunikmati) (ada apa ini? inikah rancangan masa depan yang Tuhan lukiskan? aku bahkan tak mau sedikit pun memikirkannya!) Alhasil aku tiba di penghujung gelapnya koridor itu (setitik cahaya yang kulihat) (sedikit demi sedikit, dan cahaya itu kian membesar!) (silau!) Silau. Hijau? (aku menemukannya dalam hijau) (Tuhan! aku tidak tahu kenapa aku mesti menemukannya. Sekali lagi harus kutekankan, aku tidak merencanakannya! aku tidak mengharapkan kehadirannya, aku tidak mau berpikir untuk menginginkannya) (tolong aku Tuhan! aku benar-benar ingin menolak semua ini) Nyatanya, aku kalah. (memerangi batin nyatanya tak membuahkan hasil) (batinku tak mampu berbohong) (logika memerintahkan untuk mencoretnya, dan kemudian merangkai kisah lain saja) (tidak bisa!) (isi batinku yang selalu menguasaiku) Aku kalah, dalam tarikan wajahnya (yang memintaku tidak terburu-buru, yang membuatku terduduk dan diam, yang membuatku menyerah) Dan ketika ia berpura-pura tidak tahu, aku pun menyerah (dan aku kalah begitu saja) 3 – 6 May, 2011 South Jakarta - Indonesia
Tarian Kesederhanaan Luapan akan prediksi masa depan, dengan lemah gemulai menarikan gerakan hati, perlahan tanpa paksaan. Dengan sendirinya jantung ini tidak pernah berhenti berdegup pada kekaguman akan warisan alam. Dia mulai dihantarkan dalam suhu seratus derajat celcius, seperti air mendidih yang mampu membakar kewarasan fisik manusia. Fisik? seharusnya otak, isi kepalamu itu yang diperbaiki! Tapi sang penari tak pernah peduli. Lelah sudah ia menari di atas berbagai skenario, sekarang adalah saatnya menari dalam kanvas miliknya. Sederhana saja, ia merasuk ke dalam peran wanita oriental. Dengan bubuk sagu yang terlalu putih, wajahnya yang kecoklatan tertutupi sudah. Sang penari melangkah dengan senyuman tipis, menghampiri sang pemain gitar. Ruangan itu begitu nyaman, luas, putih dan tanpa cela. Sang penari, sebagai wanita dewasa yang amat cantik. Sang pemain gitar, yang wajahnya tak kuasa untuk tidak dikategorikan wajah penyayat hati. Lalu apa? apa selanjutnya? kami mengharapkan yang sudah biasa. Dasar edan! memang apa yang salah; pria, wanita…dan sebuah ruangan? Kami mengharapkan yang biasa, jangan pura-pura bodoh! Gila! jangan bersikap mainstream! Nyatanya, sang penari tetap pada kesederhanaan; duduk berdampingan dengan santun bersama sang pemain gitar. Saling melempar senyum, bahkan sembari menciptakan sebuah lagu kenangan bersama. Hanya itu? kami rasa ini bukan pertunjukan! Dasar edan! tentu saja, ini bukan pertunjukan untuk zaman jahiliyah kalian. 25 March, 2012 Kebayoran Baru, South Jakarta – Indonesia
14:30 Aku mencoba menganalisa “Dalam Sepuluh Menit” versi yang kedua. 5 tahun lalu aku pernah melakukan hal yang sama “Dalam Sepuluh Menit”. Ketika itu hasilnya tak pernah diraih, bahkan hilang tenggelam begitu saja. Bahkan tak pernah ada substansi berharga. Hari ini, Dalam Sepuluh Menit, aku sedang berupaya menggali dalam kesempatan yang sempit. Aku mencoba mencari apa yang mereka gali selama ini. Yang bahkan aku tidak pernah menganggap itu masuk akal. Aku tak ingin menganalisa Dalam Sepuluh Menit lagi. 26 May, 2012 Kedoya, West Jakarta - Indonesia
Konsepku Untuk Artefak Apa sihh yang mereka maksud dengan `senjata makan tuan`? Hah! ketika tergali, aku nihh cuma pura-pura oon, pura-pura tidak paham. Padahal? Padahal aku nihh tahu betul, mengerti 100%. Aku hanya malas menggali tentang kondisi artefak yang tak tahunya masih bisa disadarkan. Artefak itu berwarna putih, bersih dan tampak lebih modern dibanding tahun saat produksinya. Dan seperti kubilang tadi, “Artefak itu bisa disadarkan” – maka, ia telah memeroleh kewarasannya, bahkan kini menjadi pilar yang keras kepala. Hah! ya, keras kepala. Aku benci dengan artefak nan bebel, sulit sekali dikutak kutik. Eh, lama-lama matanya muncul, dan artefak itu dapat memandang situasi yang usianya lebih muda. Pandangan sang artefak rupanya menjadi penggalian tersendiri. Aku jelas-jelas telah lama menciptakan konsep penolakan untuk provokasi sang artefak. Bayangkan, sekitar setengah hidupku dihabiskan untuk penelitian konsep penentangan itu, dan kini…..justru aku yang berbalik. “Senjata makan tuan” – Hah! ternyata dapat terjadi juga. Hah! aku mau bilang apa lagi? Tunggu! konsep ciptaanku sebetulnya tidak sia-sia. Hanya saja, konsepku itu buyar, hancur dan luluh lantah di depan orasi artefak. 6 April, 2012 The Plaza Semanggi, Jakarta - Indonesia
Realisme Tanpa Batas Aku sengaja memisahkan realisme yang sebelumnya dengan realisme yang ada saat ini, walaupun ada satu substansi tak terpisahkan. Substansi itu tentang sangkar burung sang pemilik. Apakah aku masih ingin menyebutnya demikian? entahlah. Aku sedang berupaya mencari nama pengganti, namun alunan yang mengusikku ini membuatku sulit berpikir. Dan tentang realisme, HAH! aku sudahi kisahnya beberapa waktu lalu, tanpa mempertimbangkan bahwa ia adalah salah satu hasil analisa. Dengan membentangkan sayap seluas angkasa dan rasa bangga terhadap diriku yang hina ini, realisme menjadi halaman baru bagiku. Aku tidak menganggap bahwa diriku telah dibodohi dengan intensitas realisme; tapi aku berpikir bahwa realisme terlalu munafik untuk mengakui ketidaksanggupannya bertahan. Maka kau lihatlah, tengoklah sangkar burung sang pemilik yang jauh lebih lama bertahan untuk menghirup racun di udara…tanpa henti. Jika pun racun itu seperti kasus Chernobyl, dia tampak acuh. Bertahan? yang dia-lah seekor burung yang bertahan sekian lama. Atau mungkin hanya berpura-pura bertahan. Atau mungkin saja sedang berupaya bertahan. Semua itu teka-teki. Aku telah lebih berjiwa besar menghadapinya, dan tidak begitu saja menerima realisme. Bagiku, realisme kali ini adalah realisme tanpa batas. Aku masih bebas menggali cerita ini hingga habis terkupas, dan aku kelak mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Jangan kau kira aku ini bodoh, aku ini tidak bodoh – aku hanya mengedepankan kamuflase. Kau tidak pernah tahu bahwa aku ini aktor handal. Jangan remehkan aku, hingga nantinya kau sadar ketika realisme tanpa batas benar-benar ada. 12 August, 2012
Suatu Hari, Sedang Menunggu, Soal Kamera Apakah waktu tiga tahun itu lama? atau sebentar? atau aku akan membuatnya menjadi “sebentar” yang sebenarnya. Ada saksi bisu yang sempat melingkari duniaku dan dunianya; dengan langkah pasti aku telah dipastikan pada garda depan. Ah, tidak tahunya – aku tidak lebih penting dari seorang wanita tua – mereka bahkan akhirnya membuatku mundur ke belakang. Apakah aku bisa menerimanya? ya, bisa saja. Aku tidak pernah sedetik pun berpikir bahwa mundur ke belakang adalah hal buruk. Gaunku sederhana, hak sepatuku hanya tujuh senti; bahkan tak kupikirkan hasil tampilan luarnya. Sama sekali, semua biasa saja. Dia pun terlihat sederhana; formal, beraksen kecoklatan. Aku masih ingat kalimat pertamanya, “Tidak ada yang duduk di sini khan? boleh saya di sini?”. Aku bukan tuan rumah acara; maka, bukan perkara positif atau negatif, ya biasa saja. Duduk saja – tidak perlu izin dariku. Namun, ketika kebosanan timbul juga; ditambah dengan si pria paruh baya yang terlalu lama berorasi – maka kami pun saling berucap. Bukan duniaku dan dunianya lagi – namun, dunia kami. Menyenangkan, dinamis, variatif. Tanpa aku tahu bebannya. Aku berusaha biasa saja. “Knock..knock”, dia tidak mengetuk pintu, namun mengetuk bahuku. Senyum penuh makna yang mengantarkannya pada ucapan sampai bertemu lagi. Aku berusaha biasa saja menanggapinya. Dan aku meninggalkan tempat itu juga; tak lama setelah ketukan bahu itu. Aku berusaha biasa kembali; ketika aku tahu ini seperti faith. Ketika sudah berpamitan dan melambai tangan; kami bertemu lagi. Dia bertanya soal asal usul namaku; yang kujawab dengan candaan saja. Dia sangat beretika, seorang lelaki nan anggun dalam wibawanya sebagai pria. Apakah tiga…empatan bulan terhitung sebentar? aku malah merasa lama. Karena sebuah informasi yang hilang. Dan aku? seperti biasa, bersikap biasa, bersikap pasif. Bahkan tidak pernah berupaya. Aku ini bodoh? mungkin saja. Sedangkan orang lain pasti sudah berupaya keras untuknya. Bukannya jual mahal, hanya saja – sepanjang hidupku, aku tidak pernah tahu caranya berjuang. Informasi yang hilang juga bukan alasan kenapa dia harus terlibat dalam sebuah kepentingan nama besar. Dia memang pantas berada dalam maksud yang dirancang tersebut. Hanya saja, aku benci permulaan terjadinya. Wanita itu, yang bahkan sudah kutanggapi dengan santun, menelfon dan seakan-akan menjadi bottle neck! Then, I hate her, hate your secretary! I don`t need her to be your bottle neck. Yah,namun setelahnya dia pun sadar tentang informasi yang hilang. Dan yang terpenting adalah; dia tahu soal keluhanku mengenai sekretarisnya. Yang paling kuingat adalah ketika dia mengatakan “I DID!” – tepat di depan wajahku untuk menanggapi keluhanku soal beberapa bulan ini. Tapi, akhirnya semua bukan masalah. Aku mulai memahami lamanya waktu; 7 jam, 8 jam, 2 jam. Mungkin memang tidak bisa berharap untuk menemukannya beberapa menit kemudian. Terlalu sulit. Ada sesuatu tentangnya yang semestinya berada pada keheningan tersendiri. Aku pun tak mau menyentuh permasalahan itu. Dia hadir dalam senyum. Dia hadir dalam sebuah produksi acara televisi. Dia hadir dikelilingi kegelapan, dengan hanya cahaya lampu. Dan tenggelam pada kewajibannya hingga larut malam. Dia hadir dalam kesibukan; yang akhirnya menemukan dalam satu tangkapan kamera. Tepat di depan wajahku. Aku tidak peduli jika hanya tiga…empat kalimat. Karena itu caranya berjuang. Aku harus paham caranya berjuang, hingga suatu hari aku akan mengerti caranya berjuang. Aku sedang menunggu, dalam prediksi tiga tahunan. Ah, entah. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku akan menunggunya berjuang. 18 October, 2012 Palmerah, West Jakarta - Indonesia
Dualisme dengan Korelasi Jangan katakan kepada duniaku bila ini hanyalah benda semu, karena tak pernah kulihat buktinya. Buktinya? Hah, ya pasti selalu teringat-ingat.. Di tahun kelinci – begitu abu abu – tanpa warna; hanyalah egoisme; feeding ego. Dan aku serius soal itu ego, ego dan ego. Jikalau tidak, pelajaran dari masa lalu akan menjadi sia-sia. Hanya saja, ketika itu bukan pilihan sulit. Aku tak pernah bertanya pada diriku; untuk memilihnya atau kah memilih ego. Saat itu aku merasa tidak membutuhkan jawaban, karena bagiku merupakan dualisme tanpa korelasi. Bayangkan saja, di masanya tergolong ke kategori popular – aku justru menempatkannya pada urutan terendah. Tak ada analisa; yah atau mungkin saja aku memang tidak membuatnya masuk ke dalam daftar kasus analogiku. Begitu sederhananya semua pecahan yang terlanjur terbanting. Makna. Ucapan. Kata. Sikap. Kebijaksanaan. Ketulusan. Lontaran pertanyaan. Dan hingga, sebuah pernyataan. Pernyataan harapan. Komitmen yang tertunjuk. Destinasi. Segitunya aku bersikap acuh. Destinasi? Semua orang memiliki destinasi yang sama – dalam sudut pandangku. Reaksiku? Hmm, destinasinya yang hanya akan menjadi rutinitas. Senyuman. Ucapan. Bersalaman. Obrolan. Basa-basi. Dan, pulang. Menjadi sosok individualis lagi. Begitulah hidup akan berputar pada kejadian destinasi itu. Normal, sekali lagi, tidak pernah masuk dalam analisaku. **************************** Tahun naga tak jua lekas menjadi istimewa. Rutin. Tanpa analisa berarti. Kebiasaan menghitung hari pun tetap berjalan. Tapi aku masih lupa. Satu bulan. Dua bulan. Hingga bulan ke tiga; analisa mulai menjadi kewajiban abadi. Aku menghitung hari; tanpa realita tentang destinasi. Sesungguhnya aku semata-mata tenggelam; mereka seperti iblis yang mengguncangkan duniaku sesaat. Walaupun aku berharap agar malaikat bisa segera menyelamatkanku; namun ia bukanlah malaikat yang Tuhan datangkan. Ada dualisme. Tetap dengan korelasi. Masalah para iblis, ternyata merupakan kasus yang terpisah. Kemudian aku pun menemukannya. Dualisme. Tidak disertai destinasi. Dualisme dengan korelasi. Tanpa kasus internal. Hanya sedikit guncangan eksternal yang hanya perlu untuk diacuhkan. ***************************** Berputar. Ke kanan. Berputar. Ke kiri. Ia menyodorkan solusi tengah malam. Tanpa analisa, bagiku semua solusinya hanyalah kasus biasa. Kami tetap pada dualisme untuk sementara waktu. Baiklah, belum waktunya untuk membuka diskusi panjang. Apalagi bernegosiasi; kami masih dalam kubu berbeda. Arahannya begitu pasti; aku pun hanyut terbawa arus derasnya air. Kenapa? Tidak ada jawaban. Permasalahan destinasi yang ia ungkapkan sebagai rencana komitmen juga hilang. Dengan ringannya, ia menunjukkan mimik betapa tidak pentingnya rencana itu. Aku sudah mulai menyalakan sinyal analisa. Aku menikmatinya. Aku mulai benar-benar hidup. Dualisme tidak selamanya membebani arah kehidupan. Dualisme justru telah membuka mataku akan arah yang akan ditempuh. Bukan merencanakan masa depan. Namun ia adalah nafas yang bisa menjadi aura tersendiri. Ia melepaskan ambisinya. Aku mengizinkan ambisiku pergi. Ditemukanlah dualisme dengan korelasi. Jika pun sikap kontras muncul, pertahanan sudah disiapkan polanya. Dalam dualisme, korelasi ditemukan. Dalam dualisme; tanpa orasi – sebuah keyakinan. 18 January, 2013 Jakarta - Indonesia
Hamjani di Hari Jumat Namanya Sarah Hamjani, yang di sampingnya adalah di Diana. Nama fam-nya sama, Hamjani. Sarah dan Diana Hamjani – Mereka sedang mencari akarnya. Anggap saja sekarang ini sudah puluhan tahun melewati era awal tahun 2000. Memang iya, dan sulit. Bahkan arsip nasional pun tidak mampu membantu mereka menemukan akar dasarnya. Hamjani adalah misteri. Hamjani adalah lekatan. Hamjani adalah cinta. Maka dari itu, Sarah dan Diana berkeyakinan kuat atas nama cinta – sebagaimana mereka berhasil menginjakkan kaki di muka bumi ini. Sarah Hamjani bertindak dengan logika; ia bahkan menghabiskan satu tahun waktu hidupnya untuk terjun pada sebuah penelitian. Dia hidup di zaman edan yang telah menyingkirkannya. Misteri Hamjani baginya adalah naluri alamiah; teori kesanggupan bertahan. Ia pernah kenal badai – bahkan telah menjadi gangguannya setiap hari. Hamjani seperti menolongnya. Secara fisik Hamjani tak pernah ada di sampingnya, maka Sarah pun tak pernah mau memikirkan rasanya dipeluk oleh Hamjani. Tentu, Hamjani adalah masa lalu – sebuah misteri. Melacak Hamjani tua menjadi perang batin tersendiri. Sarah masih bertahan. Diana Hamjani memiliki sisi yang berbeda; dia memutuskan untuk bersikap lebih nyata dibandingkan kembarannya itu. Bagi Diana, Sarah terlalu membuang-buang waktu dengan penelitian konyolnya. Diana ingin misteri Hamjani cepat terpecahkan. Diana bersikap terlalu agresif; to the point. Ia suka berlari dan cepat mengambil keputusan sesuai kata hatinya. Detik ini ia bisa begini, dan beberapa detik kemudian, ia bisa melakukan hal lainnya. Tapi Diana selalu fokus. Sikap buru-burunya itu tetap mendukung satu titik tujuan. Bagi Hamjani tua, Diana patut diberi nilai lebih. Namun, tunggu sebentar! Kita telah membicarakan Hamjani tua dalam dua versi; Sarah dan Diana sama-sama memilikinya. Apakah ini wajar? Baiklah, mari kita mundur ke puluhan tahun sebelumnya…. Lembaran buku itu berada di hari Jumat. Seperti buku terbuka, kisah itu bisa dibaca oleh siapa saja. Sarah dan Diana masih berada dalam rancangan skenario; sedangkan Hamjani telah hidup dalam arogansinya. Bukan hanya itu, yang disebut dengan Hamjani itu memang ada dua! Hamjani adalah misteri. Hamjani adalah pilihan hidup. Hamjani berjalan dalam konsep pikiran layaknya pisau bermata dua. Seandainya bisa disatukan, alangkah indahnya. Tapi tunggu dulu! Sebenarnya Hamjani itu satu atau dua makhluk? Sebenarnya Hamjani itu mendukung Sarah atau Diana? Hamjani adalah misteri. Hamjani belum mau menjawab. Di hari Jumat, Hamjani membuka segalanya. Sekali lagi, bagaikan buku terbuka yang terpajang. Di satu sisi, misterinya dirangkai dalam luapan amarah. Di sisi lain, Hamjani mengambil peran sebagai pemenuh kebutuhan. Sarah dan Diana – yang masih dalam rencana skenario – malah jadi berharap untuk menjadi kembar siam. Mungkin lebih baik dibandingkan sebuah integritas tanpa pencapaian. Hamjani malah berada dalam satu jiwa; walau sampai kapanpun ia adalah dua potongan plot. Lakon Sarah. Lakon Diana. Lakon Hamjani. Lakon misteri. Lakon insani. Bukti hasrat disaat lentera hanya ada satu. 19 January, 2013 Jakarta – Indonesia
“Ketika kau berani meninggalkan tanah yang kau pijak sekarang, mungkin aku akan berpikir seribu kali untuk berusaha meraihmu kembali”. “Ketika prinsip yang kau pegang goyah suatu hari, yakinlah bahwa aku juga akan ikut goncang dan dapat membubarkan semua rencana baikku”. “Ketika kau menambahkan angka berharga itu untuk diriku, maka dengan spontan aku akan berteriak kesenangan; bahkan, aku mungkin akan pergi bersamamu”. “Ketika aturan tak pernah mengikatmu, aku akan menerimamu masuk ke dalam gerbang kehidupanku”. “Ketika orientasimu berubah ke titik dasar, aku bisa seketika teracuni oleh ide-ide kita bersama di masa lalu”. “Ketika kau memutuskan untuk memberikan pengakuan yang sebenarnya, aku mungkin akan membatalkan kepergianku bersama yang lain.” “Ternyata kata-kata tersebut akan berakhir untukmu.” 2013
Reservasi Lima Menit “Sedangkan aku membuat gurauan menjadi keseriusan” Jangan coba-coba melangkah menuju reservasi yang terlalu cepat.. Karena ada sikap gegabah.. Karena ada sikap kurang mawas… Dan ketika suatu keputusan dibuat – hanya dalam lima menit.. Semuanya menjadi buyar.. Bukan sekedar guyonan yang dikirimkan.. Namun suatu ilham agar dunia sadar akan keterlibatannya.. Boleh kah aku memilih… Jika iya, aku sudah mengetahui jawabannya… Jika tidak, aku sudah tahu strateginya… Boleh kah aku melakukan reservasi… Jika iya, dalam lima menit aku sudah mendapatkan persetujuan… Jika tidak, dalam lima menit aku sudah menerima percikan apinya… 15 February, 2013 Jakarta - Indonesia
Dalam Pandangan Berbentuk Kaca Aku melihatnya, manekin yang terpajang, terpampang dalam kotak kaca Dia menatapnya dalam harapan untuk memecahkan kaca dan menemukan masa lalunya. Kenapa harus ia cari di dalamnya? Padahal aku ada di sini menyaksikan hasil karya yang telah menggoncangkan ubun-ubunku (seketika aku merasa sama dalam waktu delapan menit) Aku tidak menoreh ke belakang, aku bahkan sedang membuat sketsa masa depanku. Semalam aku mendengar suara parau dalam kecewa Semalam aku berdiskusi akan norma yang tak pantas Semalam aku menghakimi diriku sebagai malaikat (apakah aku cukup menjadi malaikat?) Atas dasar pecahan kaca yang sedang aku kumpulkan Atas dasar pecahan kaca yang menyimpan sejuta misteri Atas dasar pecahan kaca yang membawaku pada trotoar itu Atas dasar pecahan kaca yang menusuk organ-organku (aku berdarah-darah, berdarah!) Jangan berlebihan, semua itu telah dirangkai dalam satu plot Plot? Tidak! bahkan satu pertunjukan, satu drama, satu hasil karya (dimana kau akan menuliskan berikutnya?) (pecahan kaca tidak menunggu, mereka datang, ingat, mereka datang!) Aku bahkan merunduk pada ketidaktahuan Yang suatu hari akan terbantaikan dalam kekuatan jiwaku Aku akan berjalan tanpa mengundang luapan Karena aku lah luapan dalam pandangan kaca mereka 30 June, 2013 Kelapa Gading, North Jakarta - Indonesia
Dalam Pedestrian Dia menengok ke masa depan; bukan untuk membengkokannya Dia berada di masa sekarang; bukan untuk ambisi kedepannya Dia cuma berpikir realistis dalam begitu banyak faktor abstrak yang manusia lombakan Aku kemudian termenung melihat jutaan cahaya yang masuk ke dalam aliran darahku Mau tidak mau, semuanya seperti meteor tanpa undangan Lagipula, siapa yang mau mengundang? Ya, mereka tidak mau mengundang, mereka tidak mau menelaah kenyataan Dan aku? Aku tidak menerima kepalsuan, aku berada di pedestrian ini juga bukan aku yang memilih Lambat laun, aku merasakannya Dia lah keberadaan itu Dan dalam atmosfir ini, aku tahu Aku tahu pedestrian ini lah masa depanku 5 July, 2013 Padjajaran University, Bandung – Indonesia
Dalam Pedestrian Dia menengok ke masa depan; bukan untuk membengkokannya Dia berada di masa sekarang; bukan untuk ambisi kedepanny Dia cuma berpikir realistis dalam begitu banyak faktor abstrak yang manusia lombakan Aku kemudian termenung melihat jutaan cahaya yang masuk ke dalam aliran darahku Mau tidak mau, semuanya seperti meteor tanpa undangan Lagipula, siapa yang mau mengundang? Ya, mereka tidak mau mengundang, mereka tidak mau menelaah kenyataan Dan aku? Aku tidak menerima kepalsuan, aku berada di pedestrian ini juga bukan aku yang memilih Lambat laun, aku merasakannya Dia lah keberadaan itu Dan dalam atmosfir ini, aku tahu Aku tahu pedestrian ini lah masa depanku 5 July, 2013 Padjajaran University, Bandung – Indonesia
Percaya Saat menciptakan ibarat yang sesuai, jembatan ini bagaikan kotoran yang mengendap dalam perut bumi. Tanpa mampu diselami oleh si punduk yang sudah tak merindukan bulannya, ia mencerna goncangan untuk kegemilangan. Air tumpah ruah, bak air bah dalam kamuflase, tanpa efek mematikan, tanpa meretas darah yang bergerumul dalam sel-nya. Aku bukan lagi wanita itu, aku hanyalah bentuk abstrak dari hasrat yang mencari ruhnya. Dan aku lah itu. Mendengarkan serpihan dan pecahan … Menahan pernyataan dan ungkapan … Mempertimbangkan efek sebab akibat, seperti kekayaan linguistik … Menganalisa kebaikan dan keburukan … Menerima kebohongan, kekurangan dan kemunafikan … Hanya saja aku percaya, pada akar kehidupan yang akan berbalik pada kenyataan jiwanya. Hanya saja aku akan tetap pada satu titik, bukan untuk kerasnya isi pikiran ini. Hanya saja aku percaya, berdiri di sini bukan untuk melempar kembali batu-batu ini. Dan aku percaya, aku bertahan untuk gejolak yang hampir dihujam seribu pisau. 23 April, 2014 Menteng, Central Jakarta - Indonesia