Jiwa ini Dilanda Asmara Bagaikan ombak yang dahsyat, menimbulkan suara gemuruh di pinggir pantai Bagaikan gelombang tsunami, menghancurkan segala yang ada di permukaan Bagaikan gempa bumi, menggoyahkan fisik ini Layaknya kembang api, meriuhkan suasana langit, menyenangkan hati manusia Layaknya musik romantis, mengalun, membuat pikiran ini terus mengkhayal Semakin dipikirkan, seperti serangan jantung yang tak memiliki ujung Semakin diharapkan, seperti pasien rumah sakit jiwa Terus tersenyum, semakin dikhayalkan Seperti tidak ingin bangun dari alam mimpi 17 October, 2003 Pondok Indah, Jakarta - Indonesia
Sesuatu Seorang insan bertanya tentang hal ini. Kemudian aku menjawab bahwa hal ini datang dengan sendirinya Tak tahu dari mana asalnya, hanya seperti angin yang tertahan Dan ketika hal ini berlalu, ketika usai, maka hilanglah begitu saja Terkadang, tanpa memberi pertanda Seperti angin mengambilnya dari diri kita Tetapi semua insan menyadari Hal ini akan selalu bertahan, selalu tersimpan, membekas Membekas di dalam hati yang paling dalam, sesuatu yang tak terlupakan Sampai kapanpun 19 October, 2003 During a science class, SMU Cenderawasih I Jakarta - Indonesia
Rintihan Hati Kehidupan Ia dapat mendengar hentakan langkah kakinya. Keras, lantang, bergema Ketika gang sempit itu dilewatinya. Gang sempit yang becek, bekas air hujan semalam. Kotor, berbau tidak sedap Tikus-tikus pun gemar menetap diri di situ Gang sempit yang menggambarkan kemelaratan, kemiskinan hidup manusia Yang dipandang sebelah mata oleh kota ini Maka gang menjijikan itu telah berlalu. Lepaslah ia dari pandangan yang hina Hina bagi para penyombong jiwa. Komunitas yang merasa berderajat tinggi Matanya melihat sebuah jalan besar Di kanan dan di kirinya terdapat buah hasil korupsi Ingin ia menghujani dunia dengan air mata, air mata kepedihan Sungguh ironis. Dewa dewi dunia yang bangga akan emas-emasnya Berlaku pongah, menaikkan wajah iblisnya Merendahkan budak-budak, menendang sampah-sampah Dewa dewi yang merasa paling berharta Dan hatinya semakin tersayat, emas-emas yang sesungguhnya bukan hak mereka Mereka nikmati, demi keegoisannya. Berfoya-foyalah mereka Suburlah kehidupannya Maka menangislah para budak. Berjuanglah, kalian tidak hina Dunia bukan hanya milik para penguasa. Namun milik kita bersama Para sampah yang sesungguhnya juga manusia Membanting tulang, bercucuran keringat Menjilat tanah, menyantap tempe-tahu saja Namun memiliki harga diri. Mereka tidak mencuri emas orang lain Wahai dunia yang penuh kegilaan, maka pilihan berada di tanganmu Apakah kamu ingin menjadi malaikat terhormat di mata manusia, namun tidak berharga di mata Tuhan? Atau Apakah kamu ingin menjadi seorang yang terinjak-injak di dunia, namun Tuhan akan memberimu kenikmatan di Surga? 19 December, 2003 School Hall, SMU Cenderawasih I Jakarta - Indonesia
Badai dalam Keheningan Sunyi. Tak terdengar suara senada pun Sepi. Tak ada yang tahu akan kehadirannya Diantara kebisingan yang memekakkan telinga Ketika otak dilelahkan dengan berbagai pikiran Saat keramaian berlalu lalang di depan mata Angin itu datang, secara diam-diam Kedatangan yang tanpa disadari, telah cukup lama menunggu Telah cukup haus untuk diisi dengan kasih Dan telah begitu gersang untuk segera dialiri cairan raga Tetap tak ada suara yang terdengar, tetap tak terusik oleh apapun Arloji-arloji seakan berhenti. Hening. Tanpa suatu pertanda Namun. Kehadirannya seperti badai Badai yang mengungkapkan hasratnya dalam sebuah kesunyian 27 December, 2003 Pondok Pinang, Jakarta - Indonesia
Kasih Di Batas Pagar Ada yang pernah berbisik untuk tidak menjamah bagian itu, karena Tuhan melarang. Namun ada sajak-sajak yang mengantarkan diriku pada tali dimana tergantung di sana, aku tak kuasa untuk melawannya Tarikannya begitu kuat, kulit kepala ini serasa akan melayang ke udara, menggendong tubuh nan layu ke arah langit bertempat tinggal Maka kutemui satu titik cahaya, jemarinya menari dan bersinar Dengan hangat ia menyentuh lubuk cinta terdalam Membuka mata batinku bahwa gejolak datang dari daerah yang jauh, dan tak dikenal. Mengenalkanku pada dunia yang semestinya tidak kutembus Membuat diri ini sadar, aku masih berpijak kemana pun, kemana pun yang aku tidak yakin kebenarannya, namun telah membuatku terpeleset di jurang. Dan ketika terpukul, aku memohon pada Tuhan agar aku diizinkan untuk bersama dewa nan tampan itu Bukan untuk bermain api, karena aku hanya ingin memberi kasih di batas pagar. Once upon a time, 2004 Jakarta - Indonesia
Ketika Sedang Menunggu Terpojok di sebuah sudut. Mulut membisu. Tak ada yang dapat menjadi teman bicara. Dengan mata telanjang, Hanya memandang bangku dan meja, yang diam tak bernyawa. Di arah yang berlawanan, ada seorang laki-laki berwajah rupawan. Sedang asyik dengan dunianya sendiri, sesekali bola matanya tertangkap Saling berpandangan, ternyata ia tidak berkonsentrasi. Ia tidak hanya terpusat pada hal yang dilakukan. Ia mencuri pandang Getirnya terasa. Derasnya luapan emosi jiwa Sulitnya menahan jantung yang kian berdegup Tetapi keadaan tidak mendukung, tertutup kesempatan untuk lebih mengenal Maka, hanya mata yang berbicara, dan hanya hati yang merasakan Hingga datang waktu, yang mengharuskan diriku meninggalkan tempat itu 20 January, 2004 Bapindo Plaza-Citibank Tower, Jakarta – Indonesia
Hasrat Begitu ingin aku melompat, namun tak kuasa kaki ini bergoyang Hasratku untuk berteriak, namun bibir ini tiba-tiba terkunci Sejuta harapan untuk menggapainya, namun tangan ini menjadi pincang Mata indah memandang, menangkap sebuah sinar Menyeret jiwa ke dalam sandaran Gejolak emosi, gelombang hati Mendesir lewat telinga 21 May, 2004 Cipete Selatan, Jakarta - Indonesia
Drama Dalam Tidur Ada suara-suara dari surau, ketika ruh sudah menyatu kembali ke dalam tubuh Semilir udara pagi hari buta, membuat diri bertahan di dalam rajutan benang Ada suara-suara dari hati, saat benak kembali pada dongeng bawah sadar Kisah bisu tanpa pencerahan, misteri dibalik alam sesungguhnya Ada lukisan-lukisan dari bayangan, memancarkan kegalauan, tentang seorang manusia Memaksa untuk bernapas tanpa topeng 22 May, 2004 II-3 Class Room, SMU Cenderawasih I Jakarta - Indonesia
Sejuta Kilometer Tersembunyi Dia berada di sudut biru. Aku berdiam di sudut merah Namun kami bukan petinju yang akan bertarung di gelar tinju nasional Dia mencariku dari muka bumi. Aku mengintipnya dari atas langit Tetapi untuk turun dari kahyangan, aku tak berani Burung merpati menyampaikan nadanya, kubalas dengan alunan biola Dan ketika air laut mulai surut Berharap semoga ini bukan hanya kekosongan tak bermakna 4 June, 2004 Jakarta - Indonesia
Berawal Dari Huruf T Tidak setiap hari lalat berterbangan di depan wajah Tidak selalu jemari dapat meraih sentuhan itu Tidak terkira ada bunga bangkai yang harum Terus berkembang dengan kasih Telah 8.640 jam hentakan lonceng berdentum sangat dalam Terus menyiksa koklea hingga ubun-ubun Tetapi tidak menyesatkan organ dalam lainnya Terus, dan semakin berlanjut Tetap berhenti di penghujung saraf Terdapat bingkai yang menghiasi sisi-sisi foto dirinya Tak henti berlalu lintas pada jalan beraspal T adalah kunci utama untuk identitasnya 6 June, 2004 Jakarta - Indonesia
Tentang Jantan dan Betina Kereta itu datang menawarkan diri Membawaku ke tempat dimana seharusnya kuberpijak Saat ada sebuah gubuk yang berkilauan, kami berdua menghentikan wisata itu Sepatah kata hingga menjadi gurau, seakan waktu tidak melanjutkan detiknya Jantan tak sengaja lewat menggunakan sayap yang beroda Hancur kepingan logam, saat melihat betina ada bersama jantan Mereka tampil layaknya Charles dan Camila Aku hanya termangu, memandang jantan yang membelah hatiku Bermesraan dengan betina, dia pun terpaku Menerima bahwa betina telah bersama jantan 13 August, 2004 At a small coffee shop, South Jakarta – Indonesia
Sore dan Setelahnya Ada sepotong sore yang didamba, untuk mengejar bentuk pada wujud bayangan Semua terjadi karena dua tanda tangan, untuk bertemu pada sore yang indah Keadaan itu bukan tanpa alasan, dua insan menginginkan satu kualitas Agar si tua menyaksikan kebolehan kami, dan mengakui bahwa kami pantas dihargai Sore itu berlalu, kisah itu usai Namun tiba-tiba mendarat legenda lain Ketika anak tangga yang panjang dituruni Hantu nan tampan itu mengikutiku Berkata tentang kekhawatirannya pada tubuh yang ringkih Membisu bahwa ia ingin sebuah kepedulian Mengapa ia harus memohon angan padaku? Dimana dewa dewi berputar di lingkarannya Mengapa ia memaksa bersatu denganku? Ketika ia tetap tak berpidato dengan jelas 2 December, 2004 After running over stairs in a high building Jakarta – Indonesia
Cahaya Dalam Teropong Cinta Bumi Jika engkau ingin memelukku, maka tanyalah pada atmosfir tentang eksistensiku Apakah aku layak untuk dicintai? oleh mereka yang selama perjalanan udara selalu menatapku dengan sebelah mata. Seharusnya itu tidak pantas Karena anak-anak Hawa berdiri tegak dihadapan pondasi kokoh yang berada seratus delapan puluh derajat dari matahari Dengan cahaya terang menembus ventilasi duniaku, maka kehadirannya telah membekas di kulit Seorang figur dengan emas di genggaman dan sutra di kepala Yang bermimpi untuk mencuri kelamin Maryam, untuk dicampur dengan bubur Manado Hingga khalayak mengagungkan kesaktian dirinya Tapi aku tidak mencari pepatah itu Aku hanya ingin bumi kembali pada pangkuan Aphrodite agar kharismanya kembali. Kemudian bersandar pada posisi yang awal. Aku tak ingin klimaks. Hanya ingin agar jemari-jemari lembut meraba kasarnya atap. Untuk dikabarkan pada manusia pembawa kayu bahwa lubang-lubang telah siap untuk disakiti Agar aib manusia lain tertutup, maka berjabatlah dengan awan di langit sebelum logika meminta untuk mencintai diriku. Manusia yang penuh hina, namun malaikat Jibril telah meminta untuk menggantikan tugasnya Menyampaikan wahyu. Memberi sinyal segar pada hijau untuk merapikan tanah-tanah yang ada Karena aku akan segera lompat dari kahyangan hitam Untuk bertemu makhluk paling naif yang sedang asyik melukis cinta di atas kanvas 2004 Kemang, Jakarta – Indonesia.
Salju dan Kemarau Bagi Angan dan Impian Aku tahu bahwa mereka akan berjalan melintasi waktu dan ketika jiwaku tertangkap oleh sinar-sinar hatinya, manusia tanpa pahala itu akan tertawa Menyadari impian yang lama tersimpan hingga membusuk, hanyalah sebuah angan. Tetapi angan dan impian bukanlah dosa Bukan dosa seperti yang mereka perbuat sepanjang hayat Namun angan dan impian lahir karena hasrat Hasrat yang mencairkan kasih dan cinta kepada sungai-sungai kering Karena kemarau adalah iblis yang merenggut harapan dari tetes-tetesnya Aku hanyalah insan biasa. Dengan noda pada semeter kain putih Yang seputih salju murni. Yang selalu bertanam pada keyakinan hati Hingga ada malaikat yang mengirimkan burung merpati pada aliran tinta Dimana sebenarnya aku telah menyadari, bahwa legenda masa depan yang didongeng oleh leluhur akan menampakkan mutiaranya secara perlahan Seperti ketika seorang penderita kanker mengikhlaskan helaian rambutnya terbang satu per satu Apakah yang diinginkan hidup pada makhluk bernyawanya? jawaban hanya tersirat di tiap individu Berjalan di ruas tol, tanpa hambatan. Tak kulihat tantangan Namun semuanya hanya memiliki satu stasiun Aku hanyalah makhluk ciptaan-NYA Menuai kebahagiaan pada tapakan kalimat pengiring, agar suatu hari bulan dan bintang menghentikanku 2004 Kemang, Jakarta – Indonesia.
Halaman Pertama, Kunci Segalanya Tidakkah dia sadar Saat angin malam menyelimutiku Aku tengah menunggunya Bersama benda-benda mati Yang tak berperasaan Dan ketika cahayanya terlihat palsu Udara pagi membisikkanku Untuk segera pergi dan berlari Mencari rangkaian kata berikutnya 2004 Jakarta - Indonesia
Berlayar di Atas Ambang Aku terjebak di kandang macan Kandang macan yang tidak menakutkan Aku tak dapat melarikan diri Dan aku memang tidak menginginkannya 2004 Jakarta - Indonesia
Rahasia Biarkan khalayak dijauhkan dari kebenaran Agar aku bisa terus menikmati semua ini Tatapanmu yang menstimulasi otakku Hanya aku yang tahu maksudnya 2004 Jakarta - Indonesia
Aku Ingin Membunuh Hatiku Aku telah sampai pada puncak itu Puncak di mana aku tak dapat membunuh emosiku Aku terlanjur membanjiri hati dengan hujan Hujan yang sejak kemarin ingin kulemparkan Keyakinanku bulat. Aku tak menggoreskan sayat padanya Keyakinanku penuh. Ia tak berintepretasi pada jalur yang salah Hanya saja, aku terus membunuh jiwaku dengan panah-panah cinta Terus-menerus, aku ingin membunuh pikiran dangkal yang dimuati ombak Tanpa gelombang yang menyapaku, aku ingin membunuh hatiku 15 December, 2005 Jakarta - Indonesia
Memetik Harapan Alunan suara tak berarti Desiran angin tak berasa Mata tergantung tak bernapas Gadis itu terus termangu Menghadapi kenyataan Pria itu tak tergugah Logika menguasainya Gadis itu memetik harapan Pria itu tetap tak berperasaan 19 December, 2005 Jakarta - Indonesia
Journey Sambil menoleh pada bingkai terdahulu, ada kesan seindah kahyangan Sambil terkulai tanpa daya, seribu senyum, sejuta cahaya Dengan ironi, tanpa makna tersirat Sambil menapaki hari-hari, ada guratan sedalam perut bumi Sambil mencoba mengerti Tersenyum, jikalau ingin Diberi cahaya, jika logika mengizinkan Dengan fakta, bahwa maknanya mengiringi waktu 19 December, 2005 Margonda Raya, Depok – Indonesia
Titik Temu Di mana? Berada dalam satu lingkaran, tanpa bersua. Hanya suara untuk masing-masing Tawa dan canda yang tak berhubungan. Namun, lupakanlah Sudah berlalu, empat tahun yang lalu Hiruk pikuk dalam keramaian yang sama Bahu dan bahu yang saling melewati Walau bola mata berpandang, namun, sangat tak berarti Siapakah dirinya ketika itu? Hanya kisah usang yang sulit diingat kembali Siapakah dirinya ketika itu? Bagaimana ia berperilaku saat itu? Apakah yang kupikirkan ketika itu? Bagaimana aku menyikapi peristiwa saat itu? Karena ketika itu, ada kupu-kupu itu Kupu-kupu yang tidak bisa bersikap layaknya manusia Kupu-kupu yang selalu bertengger pada puncak Kupu-kupu yang sengaja memisahkan dua senyum yang akan bersatu Mengapa dirinya tidak bergerak maju? Apakah dirinya memang sedingin hujan salju? Mengapa aku tidak mengambil sikap? Apakah benar aku, bahwasanya, seorang patung bernyawa? Karena pernah tersudut, karena merasa benci tersudut, karena tidak ingin tersudut lagi, hingga aku tidak dan tidak akan pernah tersudut lagi Hingga, cahayanya menyapa bumiku dan isinya…. Namun, cahayanya dimiliki oleh aliran listrik Dan aku.. Isi bumiku dimiliki oleh penghuninya! Bagaimana cahaya? Bagaimana bumi dan isinya? Apakah suatu hari cahaya berkenan menyinari bumi serta isinya? Di mana? Di mana titik temu yang kami inginkan? 26 December, 2005 Jakarta - Indonesia
Mendambanya Kucetak sejarah – enam bulan lalu, saat bersebelahan – berdampingan, walau tak sepatah kata pun kuucapkan padanya Dia membuat sejarah – sejak saat yang sama, saat bersebelahan berdampingan walau ia hanya tersenyum dan mencuri pandanganku Pandangan yang berarti selama enam bulan Matanya yang berbicara sejuta kata Mataku yang – sejujurnya – memberinya cahaya harapan Hari ini, sebagai awal sejarah baru Ada senyum dari wajah yang penuh pesona Ada semangat baru untuk tetap mendambanya 23 February, 2006 Jakarta - Indonesia
Sakit Jiwa Aku menyempurnakan diri pada sebuah titik khayal Ketika aku sadar bahwa dunia tidak serumit itu dan tidak sesederhana ini Dunia mengandung banyak makna yang tidak manusia sadari Maka kenapa tidak ada yang bernasib seperti ini? Mengidap penyakit jiwa Penyakit jiwa yang mendalami kisah dibelakang kehidupan dunia Penyakit jiwa yang bermata hati dan tak usai berdetak, demi pengabdiannya pada keindahan, seindah dunia dibelakang kepalaku Alunan nada yang tidak mereka dengar Rotasi yang tidak memengaruhi bumi, bulan ataupun matahari Bahasa-bahasa yang hanya aku mengerti seorang diri Aku yakin akan desiran pada telinga ini Aku sadar betul bahwa khayal ini adalah sebuah kehidupan Karena nafasnya terasa begitu dekat dengan bibirku Titik khayal telah menggambarkan sisi lain dunia Dengan kemolekan wajahnya serta kejernihan alirannya Bukan sekedar fatamorgana tak bernilai 27 April, 2006 Jakarta - Indonesia
Mereka, tentang Cinta Apa yang mereka pikirkan tentang hidup di dunia ini? Apa mereka selalu yakin bahwa cinta selalu hadir dalam bentuk yang konkrit? Tidakkah mereka menyadari, ketika hembusan nafasnya menarik air mukaku, ada desiran yang datang, menjemput anganku dan mengutarakan fakta dalam kerahasiaan Tanpa perlu diketahui oeh mereka yang berkeyakinan, karena apa yang sebenarnya mereka yakinkan? Apa mereka yakin bahwa cinta diperuntukkan bagi mereka? Tidak! hal itu merupakan kepalsuan dari sebuah logika Maka manusia yang hina, berteriaklah untuk jiwamu “Dia hanyalah milik hatimu” Ingatlah pada kepingan-kepingan kasih yang ia persembahkan Bukan untuk orang lain. Tapi hanya untukmu 9 July, 2006 Jakarta - Indonesia
Desiran Cuaca Pelangi itu bagaikan gemercik api. Ada suasana hangat memanas Ada emosi terluap tanpa kendali Matahari itu bagaikan tetesan hujan. Ada derasnya air terjun di hati Ada degup jantung yang segera berhenti Rembulan itu secerah langit di siang hari Ada getaran yang dimulai sejak zaman purba Ada kiasan dari jiwa yang tersenyum Segala sesuatu. Seperti halilintar Mengajak naik. Membawa turun 24 December, 2005 Room G242, Universitas Gunadarma Depok – Indonesia
Angka-Angka Itu hanyalah sebuah buku tua yang baru ditemukan Buku tua yang memberi pedoman tentang angka-angka Angka-angka yang menelusuri sejarah manusia dan namanya Manusia dan namanya yang melahirkan angka-angka Angka-angka demi kehidupan kasihnya Angka-angka yang terus mencoba pada para kekasih dan nama mereka Angka-angka yang diharapkan akan berbuah baik Namun angka-angka itu tak kuasa berbohong Bukanlah angka-angka mujur bagi para kekasih untuk mendapatkan diriku Angka-angka tak sengaja mengadu takdir dan nama seorang sahabat Angka-angka yang tak terlalu diharapkan Namun angka-angka itu tak kuasa berbohong Bukanlah mustahil untuk kami bersatu Karena angka tujuh sebagai jembatan menuju angka lima Karena angka tujuh juga sebagai pintu kebersamaan Karena angka tiga-delapan yang lahir kembar Karena tujuh dan tiga-delapan, angka-angka cinta tanpa rekayasa 23:52 – 30 August, 2006 Jakarta - Indonesia
Sinonim-Antonim Begitu banyak sinonim antara dia dan dirinya Berusaha mencari antonimnya, namun sia-sia belaka Dia adalah dirinya, dia adalah masa kini, dirinya adalah masa lalu Namun dia dan dirinya seperti kembar siam Yang terus saja menggugah prinsipku Dia hadir mengisi hari-hari yang kini ada Berharap aku mau meraih kata-katanya (yang nyatanya memang kudapatkan) Bukan sinonim atau antonim Hanya pertanyaan kejujuran mengenai hati yang ingin ia miliki Aku pun melemparkan kata-kata. Bukan sinonim atau antonim Hanya pertanyaan kejujuran mengenai siapa yang ingin ia miliki 15 September, 2006 Jakarta – Indonesia
Berbagi Cinta Sebagai masa lalu, sebagai hari-hari kemarin Sebagai kenangan, sebagai sejarah Sebagai seseorang yang mungkin masih dicintai Sebagai masa kini, sebagai hari-hari masa depan Sebagai kisah cinta, sebagai cerita Sebagai seseorang yang sedang dicintai Dirinya, sebagaimana seekor kalajengking Menancapkan tangannya ke berbagai arah melalui cinta Diriku, sebagaimana seekor kepiting Merasa tercabik-cabik olehnya dengan rasa cinta Diri itu, sebagaimana seekor singa Menginginkan cintanya terbagi untuk dikuasai 22 September, 2006 Kebayoran Baru, Jakarta - Indonesia
Tak kan Dahulu, kau hanya tahu akan diriku, tidak mengenalku lebih dalam Dan aku? hanya berjalan melewati wajahmu dengan angkuhnya, tanpa peduli akan sosokmu. Tak kan ada keinginan untuk mengenalmu Setahun lamanya, kau mulai hadir dalam kehidupanku, mencoba mengenal diriku lebih dekat Dan aku? hanya bersikap ramah tanpa ada maksud, karena dirimu hanyalah satu dari seribu pria yang bersikap ramah padaku Tak akan ada hasrat untuk memikirkanmu Akhir-akhir ini, kau benar-benar mengusik hidupku, menghujaniku dengan beribu cahaya harapan Dengan janji bahwa kau akan meninggalkan kekasihmu Dan aku? hanya memendam perasaan ini, tanpa berharap kau akan membalasnya secepat itu Karena aku tak kan membiarkanmu meninggalkannya untuk diriku 13 November, 2006 Cimanggis – West Java, Indonesia