Angan Aku hanya terpojok di dalam sebuah angkot Menatap ke luar jendela Memandang indahnya malam Merasakan gejolak yang sesungguhnya tak ingin kuakhiri Aku tak peduli Apakah aku akan mati hari ini atau esok Aku hanya peduli Hatiku membutuhkan sebuah bom waktu Aku kira aku hanya seorang kebodohan Karena telah membiarkan hatiku terjual pada angannya Aku kira aku perlu membunuh jiwaku Karena telah membuat pikiranku bersimpuh pada lututnya Karena dirinya, adalah angan-angan yang dimiliki awan Karena dirinya, adalah neraka yang menghidupkan taman surga di hatiku 7 January, 2007
Distance Jakarta, memberi waktu yang singkat bagi kami Jakarta, menjadi saksi awal kisah kami Port Moresby, adalah tempatnya berpijak Jakarta, tetap menjadi tempat berdiam bagiku Paris, adalah tempat tujuan berikut baginya Bali, menjadi pijakanku yang semakin jauh darinya Amsterdam, telah menunggu kedatangannya Jakarta, aku pun harus segera kembali Brisbane, meminta banyak waktu darinya Jawa Barat, aku kembali menjalankan tanggung jawab Jayapura, adalah rencana tujuannya pada bulan April Jakarta, tak hentinya menahanku di dalamnya 2 February, 2007
Abstrak Menarik napas dalam Menyadari, bahwa hanyalah jajaran atmosfir berada di atasku Berdaya-imaginasi tentang sesuatu; abstrak Sedang menunggu bentuknya yang konkrit Tetapi abstrak merupakan suatu realita Karena menunggu adalah satu-satunya cara Konkrit menjadi sebuah cerita masa depan Dan sejak detik ini, nikmatilah keabstrakan dalam atmosfir milikku sendiri 14 February, 2007 Depok – Indonesia
Pasifik Bagi Indonesia Dia berdiri tegak di atas daratan Di atas dunia, di atas bagian pasifik Berupaya mencari keberadaan pujaan hati Namun tak terjangkau oleh matanya Sang pujaan hati bersembunyi Bersembunyi di balik rindangnya alam Indonesia Berupaya menyamarkan diri Bahwa dirinya tidak bersedia menyerahkan hatinya Pasifik tak pernah diam, terus bergejolak Namun Indonesia akan selalu berlari mengangkat kakinya 1 April, 2007
Kembali ke Kuala Lumpur Seperti bom waktu yang tak pernah berhenti melampiaskan ledakannya Hanya perlu beberapa detik untuk menjamah indahnya Jakarta Hanya butuh sekejap mata untuk kembali memeluk kerinduan Kuala Lumpur Seperti kekuatan magis yang tak mampu dihentikan Kuala Lumpur yang membuat diri ini terpancing Kuala Lumpur yang sengaja memberi keistimewaan Seperti malam yang tak akan berhenti karena waktu Senyumannya, senyumanku, terlampiaskanlah kerinduan Pelukannya, pelukanku, mungkin karena salah tingkah Kata-katanya, kata-kataku, adalah balas dendam akan gejolak hati Seperti derasnya aliran darah yang tak sanggup dihentikan Aku telah kembali ke Kuala Lumpur 8 April, 2007
`Itu` Yang Abstrak Sekalipun seorang ilmuwan handal, aku tak yakin Apakah ia mampu memberi solusi Disaat ada es yang membeku, membutuhkan yang dapat mencairkannya Bukan panas, tapi `itu` yang abstrak Disaat api yang ingin berkobar, membutuhkan yang dapat menyalakannya Bukan korek api, tapi `itu` yang abstrak Disaat angin yang ingin bertiup, membutuhkan yang dapat mendorongnya Bukan apa-apa, tapi `itu` yang abstrak Hanya `itu` yang abstrak 9 April, 2007
Tangan-Tangan Wanita Itu “Tunggu dulu!”, kata wanita itu Ia mencegah sang pria untuk sejenak Tangan-tangan wanita itu bekerja Dengan jari jemari nan lentik Tangan-tangan wanita itu bekerja di atas kepala sang pria Dengan ritme nan cepat Tangan-tangan wanita itu hanya bekerja Dengan sebuah konsentrasi Tanpa tahu Sang pria dapat menikmatinya Sang pria melakukan tatapan terselubung Pada wajah wanita nan menarik itu Tangan-tangan wanita itu yang masih saja bekerja Membuat sang pria masih saja menatapi kerinduan bentuk bibir wanita itu 9 May, 2007 Cimanggis – West Java, Indonesia
Berbalik Pada Sebuah Kehidupan Kukira adalah nada-nada indah mengiringiku Adalah sebuah melodi, sempat membuat letupan dahsyat bagi bumiku Bumi sempat tersenyum untuk kehidupan di dalamnya Adalah aku sebagai penguasa, bumiku sendiri Aku sempat bernyanyi untuk kemeriahan pada jagad raya ini Bagaikan serbuan seribu peluru, menghabisi tulang dan dagingku Aku kehilangan nyawa-nyawa yang berharga Adalah nyawa, rupanya sesuatu yang tak berharga Di mata seekor kera najis, nyawaku tak ada harganya satu dollar pun! Kera najis yang hampir membunuh urat nadiku Namun aku akan berbalik pada sebuah kehidupan Berbalik pada aura-aura, dengan warna-warna indahnya Karena aku adalah nyawa bagi aura itu Aura yang berbalik pada sebuah kehidupan Berbalik pada sebuah kehidupan dalam tiram mutiara Membalikkan pusaran yang menghisapku ke rotasinya Dan aku berbalik pada sebuah kehidupan 10 May, 2007
Kekasihku dan Kekasihnya Kekasihku memiliki diriku Kekasihnya memiliki dirinya Setahu kekasihku, dia satu-satunya bagiku Setahu kekasihnya, dia satu-satunya baginya Kekasihku – nan jauh – namun adalah kenyataan yang ada Kekasihnya – walau bagai serigala – namun telah diakui eksistensinya Fakta hanyalah fakta, bukti hanyalah bukti Karena malam ini Ketika aku bersandar di punggungnya Adalah getaran jiwa yang memberi jawaban Karena malam ini Ketika ia menyinari cahayanya untukku Adalah kebohongan yang membongkar jati dirinya Kekasihku hanyalah bayang-bayang menjemukan Kekasihnya hanyalah ruh dibalik tirai-tirai semu Karena diriku adalah harapan untuk keindahan dunianya Karena dirinya adalah emosi yang menusuk tulang-tulang ini 24 May,2007
Pelukan di Depan Pintu Kamarnya “Tok!tok!”, kuketuk pintu kamarnya, seperti ia pernah mengetuk jendela hasratku. Dia membuka pintu kamarnya, tertegun melihatku, dan kemudian menarik bibirnya, tersenyum. Seperti aku pernah membuka jendela hasratku, yang bukan sebuah jawaban, tapi merupakan asap terbakar dari aroma keindahan hasratku untuk haus jiwanya. Aku tahu, aku bukan senyawa yang telah membangun harapan di jiwanya. Dia pun tahu, dirinya bukan senyawa yang telah membuat aku menelan kata cinta. Tapi ia memelukku. Memeluk tubuhku tanpa membiarkan detik-detik berlalu terlalu lama. Dan aku membiarkannya memeluk tubuhku, tepat, di depan pintu kamarnya. Seperti ketukan pintu yang telah lama ditunggunya. Padahal aku bukanlah siapa-siapa! aku hanya benalu! Tapi ia tak berhenti memelukku. Aku pun, sejujurnya, tak ingin pelukan ini berakhir. Seperti kata-kata indah yang tersimpan, kata-kata yang tak dapat terungkap. Kata-kata yang tersimpan rapih dalam kemasan pelukan ini. 25 May, 2007
Titik Kulminasi Sedikit demi sedikit, perlahan-lahan saja Aku menapakkan kedua kakiku, pada bekas jejak-jejak tapakan kakimu Jangan engkau pikir, aku masih berada di titik nol derajat Karena nyatanya, aku sudah berada di titik kulminasi Setapak, dua tapak. Aku masih menunggu Namun titik kulminasi membuat aku matang. Matang seperti air mendidih Tolong aku? tolong aku dengan badaimu Selamatkan aku dari titik kulminasi Raih nyawaku dengan gejolak jiwamu Jangan! jangan dengan pertolongan itu Jangan dengan angin musim semi Aku butuh badaimu, aku butuh gejolak jiwamu Kumohon! selamatkan nyawaku sekarang juga Raih aku dari titik kulminasi 18 June, 2007 West Java - Indonesia
Malam Terakhir Aku pikir hanya bayang-bayang Aku kira hanya serupa mimpi Padahal tidak Aku benar-benar ada di sini Aku dalam satu kenyataan Aku tidak sedang berada di awang-awang Aku sadar penuh Pikiranku masih waras Aku dalam kenyataan di tempat ini Aku menelan kenyataan ini perlahan-lahan saja Karena ini kenyataan terakhir Harus kunikmati Layaknya aku menikmati secangkir kopi Layaknya secangkir kopi yang perlahan-lahan mendingin Karena aku dalam posisi yang dingin, yang getir Yang sedang mengilhami kenyataan terakhir Kenyataan terakhir ini Malam terakhir di atmosfir ini 28 June, 2007 West Java - Indonesia
Aktor Datang, bergerak bebas menyampaikan tanganmu Namun seperti tak pernah mengenalku Untuk apa sinaran itu? Hanya pandangan nan asing, seperti aku ini benar-benar asing Padahal tidak! Aku tidaklah asing! Engkau, kuakui, memang aktor yang handal Kau selalu berpura-pura Di depan mereka, kau berpura-pura Namun ternyata kau memainkan peran lain, kau kembali padaku secara diam-diam. Keinginanmu, dalam diam. Nada yang kau kirim secara diam-diam. Dan aku, kuakui, aku bukan aktor yang baik untuk berpura-pura di depanmu. 20 August, 2007 Kelapa Gading, North Jakarta – Indonesia
Jadilah Pragmatis! Jadilah pragmatis! Sebagaimana romantisme telah membuatmu mual Kamu memilih untuk jadi pragmatis Karena romantisme sudah terkubur, hanya terpajang nisannya Angin menjadi saksi bahwa arwah romantisme telah melayang ke surga Formal, pragmatis, informal, pragmatis Jika berbahasa inggris, kamu ini `practical`! Siang, pragmatis, malam, pragmatis Hanya ada dua huruf saja untuk menggambarkan cintamu Dalam pacu cintaku malam itu, kamu tetap pragmatis! Seperti semalam (dan mungkin pada malam-malam berikutnya) Dalam indahnya malam di pusat kota Jakarta Kamu bertahan untuk jadi pragmatis Aku bersabar, melihat dirimu yang pragmatis Kamu meminta maaf, menyadari dirimu yang pragmatis 26 September, 2007 Depok - Indonesia
14:30 wib di Sarinah Thamrin Wanita itu tidak mengikat rambutnya Duduk sendiri menghadap tembok yang kuning Menatap lurus ke depan, memandangi jalan Thamrin Mengusap dahinya, untuk merapihkan poni rambutnya Wanita ini tidak mengikat rambutnya Duduk sendiri, termangu, menunggu Membayangkan ramainya pasar senen menuju harmoni Mengusap dahinya, untuk merapihkan poni rambutnya Wanita ini tidak mengikat rambutnya Duduk sendiri, berpikir, berkhayal dalam pikirannya sendiri Mencoba menerka keberadaan kekasih di Buncit Raya Mengusap dahinya, untuk merapihkan poni rambutnya 17 October, 2007 Sarinah, Central Jakarta - Indonesia
Dua Bola Mata Malam ini aku meletakkan kedua bola mataku tidak pada tempatnya Ada satelit luar angkasa yang meminjamnya. Aku dipaksa. Aku menurutinya, karena jika aku menolak, aku akan diperkosa. Kedua bola mataku dipinjam, aku kehilangan. Aku buta. Kebutaan yang tidak aku sesali. Lebih baik begini daripada aku diperkosa. Satelit luar angkasa itu menggunakan kedua bola mataku untuk memata-matai suatu kehidupan. Suatu kehidupan yang aku sendiri belum pernah mengetahuinya. Kehidupan dengan proses evolusi di dalamnya. Membawa zaman batu kembali, angka tahun yang tak terhitung lagi digitnya. Tolong! jangan gunakan mataku lagi! tapi satelit luar angkasa tak mau menurut. Terus saja kedua bola mataku digunakan. Kehidupan nestapa. Hancur. Apakah ini zaman jahiliyah? kurasa tidak. Tidak kulihat penari perut di antara kerumunan manusia. Aku melihat sebuah evolusi. Manusia kuda. Ku kira manusia kuda itu sangat biadab, entah pernah melewati peradaban atau tidak. Oh tidak! manusia kuda itu menatapku. Menerawangi tubuh indahku. Tolong! aku sudah memberikan kedua bola mataku. Manusia kuda itu biadab! mulai membelaiku dan…. tidak! satelit luar angkasa yang tak menepati janjinya. Dua bola mataku yang telah dipinjam, yang telah membuatku buta, buta sungguhan! Kemudian membawaku melihat manusia kuda yang tak punya naluri. Yang tak berpikir ribuan kali sebelum mengambil harta milikku. Apakah ini kehidupan? ini tidak adil! Aku tidak seharusnya diperlakukan seperti ini. Apa yang terjadi dalam detik ini? Fana. 18 November, 2007 Kelapa Gading, North Jakarta – Indonesia “This is the weirdest writing imagination done before teaching time”
Dalam Sepuluh Menit Dalam sepuluh menit, aku memaksa otakku untuk berpikir dengan keras. Dalam sepuluh menit, ada yang sedang mengejarku. Aku sadar bahwa aku harus mengontrol diriku Kontrol diri yang begitu penting, agar aku tidak kehilangan kewarasan Saat ini, dalam sepuluh menit, aku yakin aku bisa mengendalikan diri. Aku sedang berada dalam situasi yang membuatku harus menjaga sikap. Maka, aku tidak dapat membentur-benturkan kepalaku ke dinding, aku tidak dapat berteriak sekencang mungkin, dan aku tidak dapat melampiaskan gejolak dalam jiwaku. Jiwaku yang terbentang luas layaknya samudera di atas permukaan bumi. Membuatku melayang jauh ke mana pun hatiku ingin membawaku. Seperti nafas yang tak memiliki akhir. Ternyata, aku sedang berkhayal. Aku mulai gila. Aku mulai gila karena kenyataan yang ada. Aku mulai merasakan sakit yang begitu dalam, setelah sebuah keindahan yang pernah melukis di atas kanvas tubuhku. Aku mulai merasa tidak waras. Aku terpuruk. Dalam. Sangat dalam. Sebuah permainan yang membuatku jatuh ke jurang. Aku terpaksa melompat ke dalam jurang kenistaan! Wajahku tercoreng! Aku dipermalukan! Aku mulai gila! Tak ada yang mampu menolongku! Karena dirinya yang berwajah malaikat, nyatanya hanya makhluk penuh kemunafikan. Aku tak ingin membencinya karena realita ini, tapi hatiku sudah akan meledak! Aku mencintainya seperti aku mencintai kehidupan ini, tapi ia tak punya hati! Dan dalam sepuluh menit, aku mulai terpuruk. Tanpa ada yang dapat menolongku. 20 November, 2007 Kelapa Gading, North Jakarta – Indonesia
Tanpa Masa Lalu Menatap jalan raya tanpa pikiran dalam otakku Menjalani hidup tanpa pernah mengalami hari kemarin Menerobos jalan tol tanpa sadar akan masa lalu Dan aku telah mati, aku mati terbunuh oleh akal yang hilang Mati, mati dan hanya mati Seperti masa lalu yang terus mencabikku! Membuat jiwaku terasa mati Namun ketika aku menatap lewat kaca, aku ternyata tetap hidup! Aku hidup seperti tengkorak yang tak pernah dibalut daging, tentu karena aku tak punya masa lalu! Aku hidup seperti darah segar yang tercecer, diinjak-injak, karena aku tak berharga, aku cuma sampah! 28 February, 2008 West Java – Indonesia
Tanpa Nomor Teleponmu Aku mencintaimu seperti pisau yang menusuk jantung Aku mencintaimu dengan jijiknya ludahku pada keringatmu Aku mencintaimu sekaligus bersama hirupan asap rokokmu Aku mencintaimu hingga terendam kaki pada lumpur yang becek Aku mencintaimu dengan lagak pongah dihadapanmu Aku mencintaimu dengan sifat pura-puraku Aku mencintaimu dengan hal-hal semu Aku mencintaimu seolah-olah aku tidak membutuhkanmu Aku mencintaimu di tengah angin pinggiran tol Jakarta-Merak Aku mencintaimu karena dapat menyentuh tas punggungmu Aku mencintaimu karena kau tidak membiarkanku sendiri Aku mencintaimu di malam tanggal Dua Puluh Lima Februari Dan aku mencintaimu tanpa sempat tahu nomor teleponmu 27 February, 2008
Bercinta Aku hanya sedang memberi ceramah pada diriku, tentang cinta. Ketika awan nyatanya bergerak lebih cepat dari biasanya Membuat hari berganti semakin cepat Entah kenapa awan mengubah siklusnya Awan sadar bahwa pelangi telah sekian lama bersanding untuknya Seperti pengemis cinta yang harga dirinya patut diinjak-injak Pelangi tetap berwarna, dalam harunya Awan tetap dengan warna putihnya yang tak berdosa Dan aku hanyalah pengkhianat bagi pelangi Ketika awan bercinta denganku di balik cinta pelangi Dan aku hanyalah pengkhianat bagi awan Ketika petir datang menyambar nyawaku Membuatku mati dalam kegelapan Untuk bercinta dengannya Apakah ini arti bercinta dalam makna cinta? Atau ini hanyalah cinta karena sedang bercinta? Yang membuat manusia buta Yang membuat manusia menjadi sakit jiwa 12 April, 2008 West Java - Indonesia
Setrum, Petir! Tersambung Secara tiba-tiba Bergetar, setrum! setrum! Ah! kesetrum! Petir, pergi! jauh-jauh! Ah! tidak! petir tak mau pergi! Aku terkena setrum! (dan aku tersungkur) (aku terjatuh) (aku terkulai lemah, tak berdaya) Petir dihujani seribu cinta (aku diam) (aku terpana) Petir adalah dewanya Jutaan meteor jatuh ke bumi Bersama petir mereka berdansa (aku juga ingin berdansa) (petir juga ingin berdansa) Namun jutaan meteor pun menyerangku (aku tetap ingin berdansa) (petir menarik tanganku untuk berdansa) Aku kena setrum! Petir! Tolong! ah! (dan aku berdansa dengan petir) (dalam kegelapan jiwa kami) 14 April, 2008 Near Toll Way: Kebon Jeruk – Merak, Indonesia
Ujung Demi Harga Dirinya “Are there any places in this world where I could hide on?” Hidupnya bagaikan api neraka yang terselimuti lumuran salju Dia hanya dapat melangkah di atas air dan mengikuti aliran sungai Namun ia tak pernah menemukan sebuah muara baginya Dalam hidupnya tidak pernah ada akhir Tiada akhir baginya bukan berarti keabadian Ia hanya tak pernah menemukan ujung Ia tak pernah menemukan jawaban “There`s tendency to be high and perfect, but why?” Apakah ia pantas disamakan dengan bangkai tikus yang tercecer di pinggir jalan? Aku rasa tidak Aku rasa ia membutuhkan sedikit penghargaan untuk memoles hidupnya menjadi hampir sempurna Namun ia terus berjalan tanpa suatu penghargaan Kepalanya terseret dan terinjak-injak oleh pijakan mereka yang tak berperasaan “I heard it, don`t you realise?” Mereka pikir dirinya cacat Mereka pikir dirinya bodoh, tidak beradab, dan bahkan mengira dirinya primitif Gila! mereka gila! Dirinya tidak seperti itu Walaupun mereka pernah tidak meninggikan arti kejujuran, namun ia sadar. Ia tahu bahwa ia dibohongi Ia tahu bahwa dirinya hanyalah korban dari mereka yang bejat “I will move on to show you the precious me” 8 May, 2008 Kebon Jeruk, West Jakarta – Indonesia
Sauna Representasikan dia dan dia adalah sauna Gambarkan sebuah kehidupan bagi sauna! Atau, sekelompok burung gagak yang akan merenggut nyawanya Sauna terdiam, kemudian tersungkur melipat raut wajahnya Dalam sepuluh detik, dia sudah… dia sudah melipat tubuhnya untuk masuk dalam kotak 12 March, 2010 Pondok Indah, South Jakarta – Indonesia
Ingat, Kau Bukan Wanita Itu “Sementara seonggok pundak kemunafikan membuatnya terpana pada jutaan cahaya yang telah menembus rona jingganya” Ia berbicara pada sengketa yang berada di tengah kabut dan sinar Dengan santainya ia berulang kali menganggap bahwa ketidakadilan adalah proses menuju kemenangan Bodoh! Apakah semuanya bergeser pada rotasi bumi yang berulang kali memusingkannya “Ingat,kau bukan wanita itu” Ia berorasi pada perbandingan dua kali dua, atau bahkan empat kali empat Tembusan pada dimensi menuju kemenangan Namun jangan berpikir pada sebuah kompetisi Karena kau bukan wanita itu “Siapakah wanita itu?” Pada sebuah cerminan diri, ia berupaya merendam sengketa Bak sengketa permainan yang sedang diatur oleh kemunafikan Ia menjadi wanita itu Namun ingat, ia bukan wanita itu 2010 Ragunan, South Jakarta – Indonesia